QUEER THEORY
PENDAHULUAN
Dalam kamus, “queer” berarti aneh,
kacau, abnormal, dan tidak disukai. Dengan demikian, Teori Queer berkenaan
dengan hubungan-hubungan yang aneh atau yang tidak biasa. Jika “hubungan
sosial” merupakan objek pokok dalam sosiologi, maka ia hanya membicarakan hubungan-hubungan
yang normal; atau tepatnya, hubungan-hubungan manusia normal. Sebagian ahli
tidak merasa cukup dengan teori-teori yang telah ada tentang hubungan sosial
yang normal ini. Mereka merasa perlu menciptakan teori khusus berkenaan dengan
manusia-manusia yang “tidak biasa” tersebut.
Dalam teori queer, diungkapkan
bagaimana bentuk hubungan yang paling otentik dan juga radikal. Bagaimana
seorang lesbian dan seorang gay berhubungan sesamanya merupakan objek dalam
teori ini. Sangat menarik mempelajari hubungan seperti apa yang terjadi ketika
seorang lesbian berhubungan dengan sesamanya, dengan seorang gay, dan
seterusnya. Namun kemudian, teori ini mencoba menyumbang pada teori sosiologi
pada umumnya, dengan salah satunya mengusung konsep pluralisme misalnya.
Mungkin maksudnya adalah melalui pelajaran dari hubungan-hubungan yang sumbang
ini ingin menyumbangkan pengetahuan betapa ada hubungan-hubungan yang khas,
yang mungkin dapat memperkaya bahkan “teoritisi normal” untuk memperkaya
teori-teori mereka.
Teori queer berakar dari materi bahwa
identitas tidak bersifat tetap dan stabil. Identitas bersifat historis dan
dikonstruksi secara sosial. Dalam konteks teori, teori ini dapat digolongkan
sebagai sesuatu yang anti identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang
tidak normal atau aneh. Dalam teori ini terdapat tiga makna intelektual dan
politik, meskipun sulit membuat batasan-batasannya. Arlene Stein dan Ken
Plummer mencatat ada empat tiang atau penanda dari teori queer ini, yaitu:
1.
Melakukan
konseptualisasi seksualitas yang mempelajari kekuasaan seksual dalam berbagai
level kehidupan sosial, dan membicarakan bagaimana relasi power seksual
berlangsung.
2.
Problem
seksual dan kategori gender dan identitas secara umum
3.
Menolak
strategi hak-hak sipil. Sebagai contoh, klaim politik berbasis identitas
misalnya mengangkat gerakan hak-hak kaum lesbian.
4.
Keinginan
untuk menjadikan seksualitas sebagai analisis untuk setiap bidang yang
diteliti, misalnya festival musik, kultur pop, gerakan sosial, dan lain-lain.
Teori queer mempelajari gay dan
lesbian, dimana homoseksual diposisikan sebagai subjek. Disinilah stand point
teori queer. Karena posisinya inilah, maka ada yang menyebut bahwa ini bukan institusi
pengetahuan, tapi semata hanya proses dekonstruksi. Teori ini lahir sebagai
hasil dari pengaruh arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan pada akhir
1980-an sampai dengan sepanjang 1990-an.
Teori ini tidak hanya menyangkut sisi
gender tetapi juga seks. Ia mengkaji kombinasi dari berbagai kemungkinan dari
tampilan gender serta tentang proses yang berfokus pada gerakan yang melampaui
ide, ekspresi, hubungan, tempat dan keinginan yang menginovasi berbagai
perbedaan cara penjelmaan di dunia sosial. Model queer ini dijadikan kerangka
kerja dalam mempelajari isu-isu gender, seksualitas dan bahkan politik
identitas.
Dalam Ritzer disebutkan, kritik terhadap teori queer adalah bahwa ia tidak berbentuk sebagai politik inklusi dan menolak karakter tunggal tentang identitas seperti ras, kelas, atau peran seks dalam aksi politik. Di sisi lain, ada sebagian ahlinya yang berusaha agar teori ini menjadi lebih sensitif secara sosial.
Dalam Ritzer disebutkan, kritik terhadap teori queer adalah bahwa ia tidak berbentuk sebagai politik inklusi dan menolak karakter tunggal tentang identitas seperti ras, kelas, atau peran seks dalam aksi politik. Di sisi lain, ada sebagian ahlinya yang berusaha agar teori ini menjadi lebih sensitif secara sosial.
AWAL DAN
PERKEMBANGAN
Tokoh utama tentang identitas gay ini
dikembangkan oleh Michel Foucault, dalam serangkaian karyanya untuk
menganalisis sejarah seksualitas dari Yunani kuno sampai era modern (1980,
1985, 1986). Tetapi karya ini terhenti oleh kematiannya pada tahun 1984, Michel Foucault mendapatkan pengertian tentang
seksualitas dapat berbeda dalam ruang
dan waktu serta argumennya ini
terbukti sangat berpengaruh dalam teori gay dan
lesbian pada umumnya dan teori queer pada khususnya. Foucault menyatakan
bahwa seksualitas itu terbentuk
dari dasar sosial
yang terbentuk secara alami
(Stanford, 2006).
Foucault menjelaskan
dalam The
History of Sexuality, dua ratus tahun yang lalu tidak ada kategori linguistik
untuk gay laki-laki. Sebaliknya, istilah yang diterapkan untuk
seks antara dua pria adalah sodomi . Seiring waktu, konsep
"homoseksual" diciptakan dalam tabung tes melalui wacana dari kedokteran dan khususnya psikiatri.
Banyak
orang keliru percaya bahwa istilah "teori queer" hanya sinonim untuk
"studi gay & lesbian." Pada
kenyataannya, teori aneh adalah bagian yang sangat spesifik dari studi gay
& lesbian yang didasarkan pada "gagasan bahwa identitas tidak tetap
dan tidak menentukan siapa kita." Istilah
ini diciptakan oleh Teresa de Lauretis pada tahun 1990. Kemudian istilah queer
diperkenalkan pada
tahun 1990, tokoh penting dalam teori
ini adalah Eve Kosofsky Sedgwick , Judith Butler , Adrienne Rich dan Diana
Fuss yang sebagian besar mengikuti karya Michel Foucault.
Menurut Peter Barry (165;2010) Teori
queer juga berakar dari teori
feminisme. Feminimisme kalsik
telah memarginalisasi atau mengacuhkan lesbianisme. Kondisi ini dibalas dengan
argumen bahwa, sebaliknya, lesbianisme semestinya dianggap sebagai wujud
feminisme paling utuh. Konflik yang meletus antara kaum feminis dengan
heteroseksual dangan lesbian ini diredakan melalui 1 esai penting, yaitu karya
Adrienne Rich yang memperkenalkan gagasan ‘malaran lesbian’ (dalam esainya
‘Compulsory heterosexuality and lesbian existence’, yang dalam bukunya Blood, Bread and Poetry: Selected Prose,
1979-1985, Virago 1987).
Saya memaksudkan istilah malaran
lesbian untuk mencakup selingkupan pengalaman yang diidentifikasi oleh
perempuan – melalui kehidupan setiap perempuan dan di sepanjang sejarah; bukan
sekedar fakta bahwa seorang perempuan pernah memiliki atau secara sadar
menghasratkan pengalaman seksual yang melibatkan kelamin dengan perempuan lain.
(Dikutip dalam Greene &
Kahn, Making a Difference, hlm. 184 )
Karena itu, konsep malaran lesbian ini
menunjukkan variasi perilaku perempuan secara luas, misalnya dari jejaring
bantuan mutual informal yang didirikan kaum perempuan di dalam profesi atau
institusi tertentu, sampai ke pertemanan perempuan yang saling mendukung, dan
akhirnya sampai ke hubungan seksual. Dari definisi ini menyiratkan adanya
interkoneksi antara cara-cara berbeda yang digunakan perempuan untuk saling
menjalin ikatan.
Sebagai akibat dari kritik-kritik ini
pendekatan lesbian memisahkan diri dari feminisme arus utama sepanjang tahun
1980-an, namun barulah tahun 1990-an kritik lesbian juga menolak esensialisme
yang bisa dibilang telah mewarisinya dari feminisme. Dan ditahun 1990-an pula
lah, muncul gagasan yang tidak begitu esensialis mengenai lesbianisme di dalam
lingkup dari apa kini dikenal sebagai TEORI QUEER.
Menurut
Rubin, Foucault and Butler, seksualitas merupakan sebuah konstruk sosial, bukan
fakta kromosomik-biologis. Mereka menggugat ortodoksi teoritik tentang
seksualitas, yang seluruh prinsip-prinsipnya didasarkan pada esensialisme
seksual. Yaitu paham yang menganggap seksualitas merupakan fenomena biologis,
kenyataan alamiah yang melampaui kenyataan sosial. Bagi mereka, seksualitas
bukan sesuatu yang tidak berubah, asosial, dan trans-historis. Seksualitas
sangat terikat dengan sejarah dan perubahan sosial. Tidak bersumber pada hormon,
psike dan hukum Tuhan.. Rubin, Foucault dan Butler menantang paham bahwa
seksualitas adalah kekayaan pribadi, yang bersifat fisiologis dan psikologis.
Kemudian
menurut Eve Sedgwick dalam bukunya yang amat berpengaruh, Epistemology of the Closet. Sedgwick menilai bahwa “keluar dari lemari baju” (coming out of the closet – artinya, secara terbuka mengungkapkan
orientasi seksual gay atau lesbian dalam diri seseorang) bukanlah satu tindakan
tunggal yang absolut. Kondisi gay dapat diumumkan secara terbuka kapada
keluarga dan teman, tapi tidak terlalu menyeluruh di hadapan atasan atau kolega
dan mungkin tidak sama sekali pada bank atau perusahaan asuransi. Karena itu
berada “di dalam” atau “di luar” lemari baju bukanlah dikotomi sederhana atau
peristiwa sekali seumur hidup. Tindakan merahasiakan atau keterbukaan dalam
tingkat yang berbeda-beda dalam kehidupan adalah wajar.
KONSEP
Teori queer didasarkan pada
gender dan seksualitas. Karena hubungan ini, perdebatan muncul, apakah
orientasi seksual adalah alami atau esensial ke orang, Teori ini tidak hanya menyangkut sisi
gender tetapi juga seks. Ia mengkaji kombinasi dari berbagai kemungkinan dari
tampilan gender serta tentang proses yang berfokus pada gerakan yang melampaui
ide, ekspresi, hubungan, tempat dan keinginan yang menginovasi berbagai
perbedaan cara penjelmaan di dunia sosial.
Teori homoseksual merupakan
identifikasi gender. Teori ini secara liberal menentang gender (maskulin/feminin)
dan seks (laki-laki/perempuan). Menurut Butler,
gender adalah kategori yang selalu bergeser: gender seharusnya tidak
ditafsirkan sebagai identitas yang stabil, namun harus dilihat sebagai suatu
identitas yang lemah terhadap waktu, berada dalam suatu ruang yang menyesuaikan
dengan berulangnya sikap atau tingkah laku. Teori homoseksual harus berhadapan dengan pasangan dalam seluruh bentuk:
pria/wanita, maskulin/feminin, gay/lesbian – menawarkan pandangan bahwa identitas selalu lebih luas dibandingkan
dengan kategori dikotomi (pria dan wanita) yang sudah baku.
Bagi kritik sastra, konsekuensi dari
antiesensialisme[1] dan lebih cenderung berhubungan dengan kritik
sastra adalah kecenderungan melemahkan nilai realisme sastra, karena realisme
sastra cenderung bergantung pada gagasan akan adanya identitas yang tetap dan
sudut pandang yang stabil. Misalnya, sebuah novel realis cenderung memiliki
narator mahatahu yang menyuguhkan serta menafsirkan peristiwa dalam novel dari
posisi moral dan intelektual yang sudah tetap, peristiwa-peristiwa dipaparkan
secara kronologis, dan tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai esensi-esensi
stabil dengan kepribadian yang berkembang secara teratur dan kumulatif.
[1]
memandang bahwa kebenaran atau identitas
bukanlah sesuatu yang universal, yang berasal dari alam, melainkan hasil
produksi budaya dalam waktu dan tempat tertentu.